Kubu Ganjar-Mahfud Sindir Pencalonan Gibran di Sidang MK, Bandingkan Sikap Nabi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota tim hukum TPN Ganjar-Mahfud Maqdir Ismail menyindir pencalonan calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka dalam sidang sengketa Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2024).
Sindiran itu disampaikan ketika ia bertanya kepada ahli yang didatangkan kubu Prabowo-Gibran, seorang pakar hukum bernama Abdul Chair Ramadhan.
Ia bahkan membandingkan sikap seorang Presiden Joko Widodo kepada anaknya, Gibran, dengan sikap Nabi Muhammad SAW kepada anaknya, Fatimah Az-zahra.
Mulanya, Maqdir mengutip pendapat ahli yang menyebut hukum harus memiliki keadilan dan kemanfaatan.
“Saudara ahli tadi menerangkan bagaimana hukum Islam menempatkan keadilan ya, bahwa keadilan itu harus diletakkan pada tempatnya. Saya setuju dengan itu,” kata Maqdir dalam sidang, Kamis siang.
Baca juga: Tim Hukum Ganjar-Mahfud Enggan Tanya Ahli Prabowo-Gibran Usai Protes soal Independensi
Maqdir lalu menyampaikan pertanyaannya. Ia bertanya apakah seseorang dengan kekuasaan tinggi yang ingin menempatkan anaknya lewat berbagai cara masih dianggap adil.
Diketahui, pencalonan Gibran memang diperdebatkan setelah putusan MK nomor 90 tentang batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi kurang dari 40 tahun selama pernah menjabat sebagai kepala daerah.
“Karena dia (sang pemimpin) sudah tidak berhasil untuk meraih atau memperpanjang kekuasaan itu, apakah menurut saudara ahli, tindakan seperti ini yang mengubah undang-undang melalui satu putusan yang cacat secara hukum, dan secara logis juga tidak tepat, masih bisa kita katakan merupakan satu tindakan untuk mendapatkan keadilan?” tanya Maqdir.
Usai mengajukan pertanyaan, ia membandingkannya dengan sikap Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad, kata Maqdir, tidak pandang bulu saat keluarganya melakukan kesalahan.
“Kita tahu bahwa Nabi pernah menyampaikan satu hadits kalau anaknya itu mencuri, Fatimah, akan dia potong tangannya. Sampai seperti itu,” terangnya.
“Pertanyaan saya adalah terkait dengan ini, apakah memang ada petunjuk-petunjuk dari agama kita yang memperkenankan seorang pejabat negara, seorang penguasa untuk menempatkan anaknya sebagai pengganti dari dirinya?” tanya Maqdir lagi.
Baca juga: Ahli Kubu Prabowo Sebut MK Tak Berwenang Usut Kecurangan TSM
Sebelumnya, ahli yang merupakan pakar hukum, Abdul Chair Ramadhan menyatakan, Bawaslu dan MK merupakan implementasi konstitusional.
Keadilan konstitusional ini merupakan kemanfaatan yang bersifat umum, kemudian diturunkan melalui keadilan distributif, dalam hal ini keadilan pembagian kewenangan. Pembagian kewenangan merupakan keadilan secara konstitusional.
“Dalam pandangan islam, keadilan itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan demikian, harus tepat, harus patut, harus sesuai, penempatan dengan tempat tersebut,” kata Abdul Chair.
Abdul Chair mengaitkan hal tersebut dengan pembagian kewenangan Bawaslu dalam penyelesaian perkara Pemilu. Ia menilai, pembagian kewenangan sejalan dengan kaidah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Kaidah ini, sebut Maqdir, merupakan keadilan yang mengandung kebenaran. Pasalnya, kebenaran dan keadilan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perbuatan yang adil adalah sesuatu tindakan yang didasarkan pada kebenaran.
“Sejalan dengan ini, Al Kindi menyatakan, bahwa keadilan itu identik dengan kualitas sifat yang inheren dalam diri manusia yang mendorongnya melakukan dalam sesuatu yang benar. Telah menjadi dalil yang mashur bahwa mempersamakan dua hal yang berbeda adalah tidak benar sekaligus tidak adil,” jelas ahli.
Copyright 2008 – 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.